PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN
1. Pengertian Pengumpulan Al – Qur’an (Jam’ul Qur’an)
Menurut para ulama pengertian Jam’ul Qur’an terdiri dari dua yaitu
Pertama :Pengumpulan dalam arti hifzuhu (menghafalnya dalam hati).
Jumma’ul Qur’an artinya huffazuhu (penghafal – penghafalnya, orang yang menghafalkannya di dalam hati). Dan inilah makna yang dimaksudkan dalam firman Allah kepada nabi – Nabi senantiasa menggerak – gerakkan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca Qur’an ketika Qur’an itu turun kepadanya sebelum Jibril selesai membacakannya, karena ingin menghafalnya Pertama
“Janganlah Kamu Gerakkan Lidahmu Untuk Membaca Qur’an Karena Hendak Cepat – Cepat Menguasainya.Sesungguhnya Atas Tanggungan Kamilah Mengumpulkannya (Di Dadamu) Dan (Membuatmu Pandai) Membacanya Apabila Kami Telah Selesai Membacakannya Maka Ikutilah Bacaan Itu.Kemudian Atas Tanggungan Kamilah Penjelasannya” (Al – Qiyamah [75] : 16-19).
Pengumpulan dalam arti Kitabullah kullihi (penulisan Qur’an semuanya) baik dengan memisah – misahkan ayat – ayat dan surah – surahnya, atau menertibkan ayat – ayat semata dan setiap surah ditulis dalam satu lembaran secara terpisah, ataupun menertibkan ayat – ayat dan surah – surahnya dalam lembaran – lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surah, sebagiannya ditulis sesudah bagian yang lain.
B. Al – Qur’an Pada Masa Khalifah Abu Bakar
Setelah Nabi wafat kaum muslimin mengangkat Abu Bakar Shiddik menggantikan beliau sebagai khalifah yang pertama pada masa permulaan. Kekhalifahan pemerintahan Abu Bakar timbul suatu keadaan yang mendorong pengumpulan ayat – ayat Al – Qur’an dalam satu mushaf.
Keadaan itu ialah sebagian besar orang – orang yang hafa Al – Qur’an gugur syahidah dalam perang Yamamah. Timbullah kekhawatiran akan hilangnya beberapa ayat dari Al – Qur’an, jika semua huffazhul Qur’an sudah tidak ada lagi.
Yang mula – mula sadar akan hal ini ialah Umar bin Khatab, lalu beliau mengingatkan khalifah akan bahaya yang mengancam keutuhan Al – Qur’an. Umar menyarankan supaya khalifah mengambil langkah – langkah untuk mengamankan Al – Qur’an, yaitu dengan mengumpulkan ayat – ayat Al – Qur’an dalam satu mushaf.
Umar bin Khatab pergi ke khalifah Abu Bakar dan bermusyawarah dengannya dalam hal itu salah satu yang diucapkan Umar adalah : “Saya berpendapat lebih baik anda memerintahkan manusia untuk mengumpulkan Al – Qur’an”. Abu Bakar menjawab : “Bagaimana Kita Akan Melakukan Sesuatu Yang Belum Pernah Dilakukan Oleh Rasulullah Saw”. Umar balas menjawab : “Ini Demi Allah Akan Membawa Kebaikan”.
Umar masih terlibat dialog dengan Abu Bakar sehingga Allah melapangkan dada Abu Bakar (menerima usulan Umar).
Lalu Abu Bakar memanggil Zaid bin Tsabit sembari berkata padanya :
“Sesungguhnya Engkau Adalah Seorang Pemuda Yang Berakal Cerdas Dan Konsisten.Engkau Telah Menulis Wahyu Di Zaman Rasulullah Saw, Maka Aku Memintamu Untuk Mengumpulkannya”.Zaid menjawab:“Demi Allah, Seandainya Engkau Memaksaku Untuk Memindahkan Satu Gunung Dari Gunung Yang Lain Maka Itu Tidak Lebih Berat Bagiku Daripada Perintahmu Kepadaku Mengumpulkan Al – Qur’an”. Aku berkata : “Bagaimana Engkau Melakukan Sesuatu Yang Belum Pernah Rasulullah Saw?” Dia menjawab : “Demi Allah, Itu Membawa Kebaikan”.
Abu Bakar senantiasa “membujukku” hingga Allah melapangkan dadau, sebagaimana sebelumnya Dia melapangkan dada Abu Bakar dan Umar. Maka akupun mulai mencari AL – Qur’an, kukumpulkan ia dari pelepah kurma, kepingan – kepingan batu dan dari hafalan – hafalan para penghapal, sampai akhirnya akan mendapatkan akhir surat Taubah berada pada Abu Khuzaimah Al – Ansari. Zaid bin Tsabit bertindak sangat teliti dan hati – hati. periwayatkan oleh beberapa shahabat :
1. Samuroh Bin Jundud
Dikeluarkan oleh Imam-imam : Muslim (1/7), Ibnu Majah (No. 39) Ahmad (5/20), Ath-Tahayalis di musnadnya (Hal : 121 No. 895), Ath-Thahawi di kitabnya : Al-Musykilul Atsar” (1/75), Ibnu Abi Syaibah di mushannafnya (8/595), Ath-Thabrani di kitabnya “Al-Mu’jam Kabir” (7/215 No. 6757), Ibnu Hiban (No. 29) dan di kitabnya “Adl-Dlu’afaa” (1/7) dan Al-Khatib Baghdadi di kitabnya “Tarikh Baghdad” 4/161).
2. Mughirah bin Syu’bah
Dikeluarkan oleh Imam-imam : Muslim (1/7), Ibnu Majah (No. 41), Tirmidzi (4/143-144 di kitabul ilmi), Ahmad 94/252,255), Ath-Thayalis (Hal : 95 No. 690), Ath-Thahawi di “Musykil” (1/175-176), Ibnu Hibban di kitabnya “Adl-Dlua’afaa” (1/7).
3. Ali bin Abi Thalib
Dikeluarkan oleh Imam-imam : Ibnu Majah (No. 38 & 40), Ibnu Abi Syaibah (8/595), Ahmad (1/113) dan Ath-Thahawi (1/175) di kitabnya “Musykilul Atsar”.
Lafadz hadits dari riwayat Imam Muslim dan lain-lain, dan riwayat yang kedua (man rawa ‘anni) dari mereka selain Muslim. Berkata Tirmidzi : Hadist Hasan Shahih.
C. LUGHOTUL HADITS :
Lafadz (yara) ada dua riwayat yang shahih.
1. Dengan lafadz “yura” didlomma huruf “ya” nya, maknanya “Zhan” atinya : Ia sangka.”Yakni : Hadits tersebut baru ia “sangka-sangka” saja sebagai hadits palsu/maudlu, kemudian ia meriwayatkannya juga, maka ia termasuk ke dalam ancaman Nabi SAW di atas”.
2. Dengan lafadz “yara” di fat-ha “ya” nya, yang maknanya “yu’lamu”, artinya : Ia telah mengetahui.”Yakni : Hadits tersebut telah ia ketahui kepalsuannya, baik ia mengetahuinya sendiri sebagai ahli hadits atau diberitahu oleh Ulama ahli Hadits, kemudian ia meriwayatkan/membawakannya tanpa memberikan bayan/penjelasan akan kepalsuannya, maka ia termasuk ke dalam kelompok pendusta hadits Nabi SAW”.
Demikian juga lafadz “Alkadzibiina” terdapat dua riwayat yang shahih :
1. Dengan lafadz “alkadzibiina” hurup “ba” nya di kasro yakni dengan bentuk jamak.Artinya : Para pendusta.
2. Dengan lafadz “alkadzibayina” hurup “ba” nya di fat-ha yakni dengan bentuk mutsanna (dua orang). Artinya : Dua pendusta.
D. Syarah Hadist
Sabda Nabi SAW : (Barangsiapa yang menceritakan/meriwayatkan dariku satu/sesuatu hadits saja), yakni baik berupa perkataan, perbuatan taqrir,atau apa saja yang disandarkan orang kepada Nabi SAW, apakah menyangkut masalah-masalah ahkam (hukum-hukum), aqidah, tafsir Qur’an, targhib dan tarhib atau keutamaan-keutamaan amal (fadlaa-ilul a’mal), tarikh/kisah-kisah dan lain-lain. (Yang ia menyangka/zhan) yakni sifatnya baru “zhan” tidak meyakini (atau ia telah mengetahui) baik ia sebagai ahli hadits atau diterangkan oleh ahli hadits (sesungguhnya hadits tersebut dusta/palsu), kemudian ia meriwayatkannya dengan tidak memberikan penjelasan akan kepalsuannya, (maka ia termasuk salah seorang dari pendusta/salah seorang dari dua pendusta) yakni yang membuat hadits palsu dan ia sendiri yang menyebarkannya.
Berkata Imam Ibnu Hibban dalam syarahnya atas hadits ini di kitabnya “Adl-Dlu’afaa” (1/7-8) : “Di dalam kabar (hadits) ini ada dalil tentang sahnya apa yang telah kami terangkan, bahwa orang yang menceritakan hadits apabila ia meriwayatkan apa-apa yang tidak sah dari Nabi SAW, apa saja yang diadakan orang atas (nama) beliau SAW, sedangkan ia mengetahuinya, niscaya ia termasuk salah seorang dari pendusta”.
Bahkan zhahirnya kabar (hadits) lebih keras lagi, yang demikian karena beliau telah bersabda: “Barangsiapa Yang Meriwayatkan Dariku Satu Hadits Padahal Ia Telah Menyangka (Zhan) Bahwa Hadits Tersebut Dusta”. Beliau tidak mengatakan bahwa ia telah yakin hadits itu dusta (yakni baru semata-mata zhan saja). Maka setiap orang yang ragu-ragu tentang apa-apa yang ia marfu’kan (sandarkan kepada Nabi SAW), shahih atau tidak shahih, masuk ke dalam pembicaraan zhahirnya kabar (hadits) ini”. (baca kembali keterangan Nawawi di Masalah ke 2).
Saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat) berpandangan : Hadits ini mengandung beberapa hukum dan faedah yang sangat penting diketahui :
1. Berdasarkan hadits shahih di atas dan hadist-hadits yang telah lalu dalam Masalah ke-2, maka Ulama-Ulama kita telah IJMA’ tentang haramnya -termasuk dosa besar- meriwayatkan hadits-hadits maudlu’ apabila ia mengetahuinya tanpa disertai dengan bayan/penjelasan tentang kepalsuannya. Ijma Ulama di atas menjadi hujjah atas kesesatan siapa saja yang menyalahinya. (Syarah Nukhbatul Fikr (hal : 84-85). Al-Qaulul Badi’ fish-shalati ‘Alal Habibisy Syafi’(hal : 259 di akhir kitab oleh Imam As-Sakhawi). Ikhtisar Ibnu Katsir dengan syarah Syaikh Ahmad Syakir (hal : 78 & 81) Qawaa’idut Tahdist (hal : 150 oleh Imam Al-Qaasimiy).
2. Demikian juga orang yang meriwayatkan hadits yang ia sangka (zhan) saja hadits itu palsu atau ia ragu-ragu tentang kepalsuannya atau shahih dan tidaknya, maka menurut zhahir hadits dan fiqih Imam Ibnu Hibban (dan Ulama-ulama lain) orang tersebut salah satu dari pendusta. Menurut Imam Ath-Thahawiy diantara syarahnya terhadap hadits di atas di kitabnya “Musykilul Atsar” (1/176) : Barangsiapa yang menceritakan (hadits) dari Rasulullah SAW dengan dasar ZHAN (sangkaan), berarti ia telah menceritakan (hadits) dari beliau dengan tanpa haq, dan orang yang menceritakan (hadits) dari beliau dengan cara yang batil, niscaya ia menjadi salah seorang pendusta yang masuk ke dalam sabda Nabi SAW :”Barangsiapa yang sengaja berdusta atas (nama)ku, hendaklah ia mengambil tempat tinggalnya di neraka”. (baca kembali hadits-hadit tersebut di Masalah ke 2).
3. Bahwa orang yang menceritakan kabar dusta, termasuk salah satu dari pendusta, meskipun bukan ia yang membuat kabar dusta tersebut (Nabi SAW telah menjadikan orang tersebut bersekutu dalam kebohongan karena ia meriwayatkan dan menyebarkannya).
4. Menunjukkan bahwa tidak ada hujjah kecuali dari hadits-hadits yang telah tsabit (shahih atau hasan) dari Rasulullah SAW.
5. Wajib menjelaskan hadits-hadist maudlu’/palsu dan membuka aurat (kelemahan) rawi-rawi pendusta dan dlo’if dalam membela dan membersihkan nama Rasulullah SAW. Tentu saja pekerjaan yang berat ini wajib dipikul oleh ulama-ulama ahli hadits sebagai Thaaifah Mansurah.
6. Demikian juga ada kewajiban bagi mereka (ahli hadits) mengadakan penelitian dan pemeriksaan riwayat-riwayat dan mendudukkan derajad-derajad hadits mana yang sah dan tidak.
7. Menunjukkan juga bahwa tidak boleh menceritakan hadits dari Rasulullah SAW kecuali orang yang tsiqah dan ahli dalam urusan hadits.
8. Menunjukkan juga bahwa meriwayatkan hadits atau menyandarkan sesuatu kepada Nabi SAW, bukanlah perkara yang “ringan”, tetapi sesuatu yang “sangat berat” sebagaimana telah dikatakan oleh seorang sahabat besar yaitu Zaid bin Arqam [Berkata Abdurrahman bin Abi Laila : Kami berkata kepada Zaid bin Arqam : ” Ceritakanlah kepada kami (hadits-hadits) dari Rasulullah SAW !. Beliau menjawab : Kami telah tua dan (banyak) lupa, sedangkan menceritakan hadits dari Rasulullah SAW sangatlah berat “. (shahih riwayat Ibnu Majah No. 25 dll)]. Oleh karena itu wajiblah bagi setiap muslim merasa takut kalau-kalau ia termasuk salah seorang pendusta atas nama Rasulullah SAW. Dan hendaklah mereka berhati-hati dalam urusan meriwayatkan hadits dan tidak membawakannya kecuali yang telah tsabit dari Rasulullah SAW menurut pemeriksaan ahli hadits.
9. Dalam hadits ini (dan hadits yang lain banyak sekali) ada dalil bahwa lafadz “hadits” dan maknanya telah ada ketetapan langsung dari Rasulullah SAW. Sabda beliau :”Barangsiapa yang menceritakan/meriwayatkan dariku satu HADITS….yakni : Segala sesuatu yang disandarkan kepadaku, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir dan lain-lain, maka inilah yang dinamakan hadits atau sunnah Nabi SAW”.
10. Menunjukan juga bahwa hadits apabila telah tsabit dari Rasulullah SAW, baik hadits mutawatir atau hadits-hadits ahad, menjadi hujjah dalam aqidah dan ahkam (hukum-hukum) dan lain-lain. Demikian aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan tidak ada yang membedakan dan menyalahi kecuali ahlul bid’ah yang dahulu dan sekarang. Adapun ahlul bid’ah yang dahulu mengatakan (menurut persangkaan mereka yang batil) : Tidak ada hujjah dalam aqidah dan ahkam kecuali dengan hadits-hadits mutawatir !?.
Demikian paham yang sesat dari sekelompok kecil Mu’tazilah dan Khawarij. Sedangkan ahlul bid’ah zaman sekarang mengatakan (menurut persangkaan mereka yang batil) : Untuk ahkam dengan hadits-hadits ahad, sedangkan untuk aqidah tidak diambil dan diyakini kecuali dari hadits-hadits mutawatir.Kalau ditaqdirkan pada zaman kita sekarang ini tidak ada lagi orang yang memalsukan hadits (walaupun kita tidak menutup kemungkinannya), tetapi tidak sedikit bahkan banyak sekali saudara-saudara kita yang membawakan hadits-hadits yang batil dan palsu. Tersebarlah hadits palsu itu melalui mimbar para khotib, majelis-majelis dan tulisan di kitab-kitab dan majalah-majalah yang tidak sedikit membawa kerusakan bagi kaum muslimin. Innaa lillahi wa inna ilaihi raaji’un !
Mudah-mudahan hadits di atas dan hadits-hadits di Masalah ke 2 dapat memberikan peringatan dan pelajaran bagi kita supaya berhati-hati dalam menyandarkan sesuatu kepada Rasulullah SAW. Aamiin ..!
E. Al – Qur’an Pada Masa Khalifah Umar bin Khatab
Pada masa khalifah Umar bin Khatab kegiatan penyiaran dan dakwah Islam demikian pesat sehingga daerah khalifah Islam sampai ke Mesir dan Persia Khalifah Umar bin Khattab mengarahkan pada kegiatan dakwah tersebut.
Kumpulan Al – Qur’an yang disimpan oleh Abu Bakar kemudian disimpan oleh Umar hanya disalin menjadi satu shuhuf. Hal ini dimaksudkan agar Al – Qur’an yang telah dikumpulkan itu terpelihara dalam bentuk tulisan yang original atau bersifat standarisasi. Pada masa itu masihbanyak para sahabat yang hafal Al – Qur’an yang dapat mengajarkannya kepada para sahabat yang lain.
Setelah Umar wafat shuhuf itu disimpan oleh Hafsah Bin Umar denangan pertimbanga bahwa Hafsah adalah istri Nabi Muhammad saw dan putri Umar yang pandai membaca dan menulis.
F. Al – Qur’an Pada Masa Khalifah Usman
Pada masa khalifah Usman bin Affanm timbul hal – hal yang menyadarkan khalifah akan perlunya memperbanyak naskah shuhuf dan mengirimkannya ke kota – kota besar dalam wilayah negara Islam, kesadaran ini timbul karena para huffazal Qur’an telah bertebaran ke kota – kota besar dan diantara mereka terdapat perbedaan bacaan terhadap beberapa huruf dari Al – Qur’an. Karena perbedaan dialek bahasa mereka.
Selanjutnya masing – masing menganggap mereka bacaannya yang lebih tepat dan baik.
Berita perselisihan itu sampai ketelinga Usman dan beliau menganggap hal itu sebagai sumber bahaya besar yang harus segera diatasi.
Beliau memintan kepada Hafsah binti Umar supaya mengirimkan mushaf Abu Bakar yang ada padanya.
Kemudian khalifah menugaskan : Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Ash dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalin (membukukan) menjadi beberapa shuhuf.
Setelah selesai penghimpunannya, mushaf asli dikembalikan ke Hafsah dan tujuh mushaf yang telah disalin, masing – masing dikirimkan ke kota – kota Kufah, Bashrah, Damaskus, Mekah, Madinah dan Mesir, khalifah meninggalkan sebuah dari tujuh mushaf itu untuk dirinya sendiri. Dalam penyalinan (pembukuan) Al – QUR’an itu dimana amat teliti dan tegas, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Jarir mengatakan berkenaan apa yang telah dilakukan Usman “Ia telah menyatukan umat Islam dalam satu mushaf dan satu shuhuf, sedangkan mushaf yang lain di sobek.
A. KESIMPULAN
Dari uraian yang telah penulis paparkan dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa apa yang telah dilakukan para sahabat yaitu dengan mengumpulkan AL – Qur’an adalah sesungguhnya suatu perbuatan yang sangat mulia karena dengan nama Allah mereka berusaha menjaga kelestarian dari ayat – ayat Al – Qur’an yang telah diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw secara mutawatir melalui perantara Malaikat Jibril adalah suatu kemukjizatan yang tak pernah terbandingi nilainya. Al – Qur’an merupakan pedoman dasar menuju jalan yang diridhoi oleh Allah SWT.
B. SARAN
1. Pengertian Pengumpulan Al – Qur’an (Jam’ul Qur’an)
Menurut para ulama pengertian Jam’ul Qur’an terdiri dari dua yaitu
Pertama :Pengumpulan dalam arti hifzuhu (menghafalnya dalam hati).
Jumma’ul Qur’an artinya huffazuhu (penghafal – penghafalnya, orang yang menghafalkannya di dalam hati). Dan inilah makna yang dimaksudkan dalam firman Allah kepada nabi – Nabi senantiasa menggerak – gerakkan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca Qur’an ketika Qur’an itu turun kepadanya sebelum Jibril selesai membacakannya, karena ingin menghafalnya Pertama
“Janganlah Kamu Gerakkan Lidahmu Untuk Membaca Qur’an Karena Hendak Cepat – Cepat Menguasainya.Sesungguhnya Atas Tanggungan Kamilah Mengumpulkannya (Di Dadamu) Dan (Membuatmu Pandai) Membacanya Apabila Kami Telah Selesai Membacakannya Maka Ikutilah Bacaan Itu.Kemudian Atas Tanggungan Kamilah Penjelasannya” (Al – Qiyamah [75] : 16-19).
Pengumpulan dalam arti Kitabullah kullihi (penulisan Qur’an semuanya) baik dengan memisah – misahkan ayat – ayat dan surah – surahnya, atau menertibkan ayat – ayat semata dan setiap surah ditulis dalam satu lembaran secara terpisah, ataupun menertibkan ayat – ayat dan surah – surahnya dalam lembaran – lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surah, sebagiannya ditulis sesudah bagian yang lain.
B. Al – Qur’an Pada Masa Khalifah Abu Bakar
Setelah Nabi wafat kaum muslimin mengangkat Abu Bakar Shiddik menggantikan beliau sebagai khalifah yang pertama pada masa permulaan. Kekhalifahan pemerintahan Abu Bakar timbul suatu keadaan yang mendorong pengumpulan ayat – ayat Al – Qur’an dalam satu mushaf.
Keadaan itu ialah sebagian besar orang – orang yang hafa Al – Qur’an gugur syahidah dalam perang Yamamah. Timbullah kekhawatiran akan hilangnya beberapa ayat dari Al – Qur’an, jika semua huffazhul Qur’an sudah tidak ada lagi.
Yang mula – mula sadar akan hal ini ialah Umar bin Khatab, lalu beliau mengingatkan khalifah akan bahaya yang mengancam keutuhan Al – Qur’an. Umar menyarankan supaya khalifah mengambil langkah – langkah untuk mengamankan Al – Qur’an, yaitu dengan mengumpulkan ayat – ayat Al – Qur’an dalam satu mushaf.
Umar bin Khatab pergi ke khalifah Abu Bakar dan bermusyawarah dengannya dalam hal itu salah satu yang diucapkan Umar adalah : “Saya berpendapat lebih baik anda memerintahkan manusia untuk mengumpulkan Al – Qur’an”. Abu Bakar menjawab : “Bagaimana Kita Akan Melakukan Sesuatu Yang Belum Pernah Dilakukan Oleh Rasulullah Saw”. Umar balas menjawab : “Ini Demi Allah Akan Membawa Kebaikan”.
Umar masih terlibat dialog dengan Abu Bakar sehingga Allah melapangkan dada Abu Bakar (menerima usulan Umar).
Lalu Abu Bakar memanggil Zaid bin Tsabit sembari berkata padanya :
“Sesungguhnya Engkau Adalah Seorang Pemuda Yang Berakal Cerdas Dan Konsisten.Engkau Telah Menulis Wahyu Di Zaman Rasulullah Saw, Maka Aku Memintamu Untuk Mengumpulkannya”.Zaid menjawab:“Demi Allah, Seandainya Engkau Memaksaku Untuk Memindahkan Satu Gunung Dari Gunung Yang Lain Maka Itu Tidak Lebih Berat Bagiku Daripada Perintahmu Kepadaku Mengumpulkan Al – Qur’an”. Aku berkata : “Bagaimana Engkau Melakukan Sesuatu Yang Belum Pernah Rasulullah Saw?” Dia menjawab : “Demi Allah, Itu Membawa Kebaikan”.
Abu Bakar senantiasa “membujukku” hingga Allah melapangkan dadau, sebagaimana sebelumnya Dia melapangkan dada Abu Bakar dan Umar. Maka akupun mulai mencari AL – Qur’an, kukumpulkan ia dari pelepah kurma, kepingan – kepingan batu dan dari hafalan – hafalan para penghapal, sampai akhirnya akan mendapatkan akhir surat Taubah berada pada Abu Khuzaimah Al – Ansari. Zaid bin Tsabit bertindak sangat teliti dan hati – hati. periwayatkan oleh beberapa shahabat :
1. Samuroh Bin Jundud
Dikeluarkan oleh Imam-imam : Muslim (1/7), Ibnu Majah (No. 39) Ahmad (5/20), Ath-Tahayalis di musnadnya (Hal : 121 No. 895), Ath-Thahawi di kitabnya : Al-Musykilul Atsar” (1/75), Ibnu Abi Syaibah di mushannafnya (8/595), Ath-Thabrani di kitabnya “Al-Mu’jam Kabir” (7/215 No. 6757), Ibnu Hiban (No. 29) dan di kitabnya “Adl-Dlu’afaa” (1/7) dan Al-Khatib Baghdadi di kitabnya “Tarikh Baghdad” 4/161).
2. Mughirah bin Syu’bah
Dikeluarkan oleh Imam-imam : Muslim (1/7), Ibnu Majah (No. 41), Tirmidzi (4/143-144 di kitabul ilmi), Ahmad 94/252,255), Ath-Thayalis (Hal : 95 No. 690), Ath-Thahawi di “Musykil” (1/175-176), Ibnu Hibban di kitabnya “Adl-Dlua’afaa” (1/7).
3. Ali bin Abi Thalib
Dikeluarkan oleh Imam-imam : Ibnu Majah (No. 38 & 40), Ibnu Abi Syaibah (8/595), Ahmad (1/113) dan Ath-Thahawi (1/175) di kitabnya “Musykilul Atsar”.
Lafadz hadits dari riwayat Imam Muslim dan lain-lain, dan riwayat yang kedua (man rawa ‘anni) dari mereka selain Muslim. Berkata Tirmidzi : Hadist Hasan Shahih.
C. LUGHOTUL HADITS :
Lafadz (yara) ada dua riwayat yang shahih.
1. Dengan lafadz “yura” didlomma huruf “ya” nya, maknanya “Zhan” atinya : Ia sangka.”Yakni : Hadits tersebut baru ia “sangka-sangka” saja sebagai hadits palsu/maudlu, kemudian ia meriwayatkannya juga, maka ia termasuk ke dalam ancaman Nabi SAW di atas”.
2. Dengan lafadz “yara” di fat-ha “ya” nya, yang maknanya “yu’lamu”, artinya : Ia telah mengetahui.”Yakni : Hadits tersebut telah ia ketahui kepalsuannya, baik ia mengetahuinya sendiri sebagai ahli hadits atau diberitahu oleh Ulama ahli Hadits, kemudian ia meriwayatkan/membawakannya tanpa memberikan bayan/penjelasan akan kepalsuannya, maka ia termasuk ke dalam kelompok pendusta hadits Nabi SAW”.
Demikian juga lafadz “Alkadzibiina” terdapat dua riwayat yang shahih :
1. Dengan lafadz “alkadzibiina” hurup “ba” nya di kasro yakni dengan bentuk jamak.Artinya : Para pendusta.
2. Dengan lafadz “alkadzibayina” hurup “ba” nya di fat-ha yakni dengan bentuk mutsanna (dua orang). Artinya : Dua pendusta.
D. Syarah Hadist
Sabda Nabi SAW : (Barangsiapa yang menceritakan/meriwayatkan dariku satu/sesuatu hadits saja), yakni baik berupa perkataan, perbuatan taqrir,atau apa saja yang disandarkan orang kepada Nabi SAW, apakah menyangkut masalah-masalah ahkam (hukum-hukum), aqidah, tafsir Qur’an, targhib dan tarhib atau keutamaan-keutamaan amal (fadlaa-ilul a’mal), tarikh/kisah-kisah dan lain-lain. (Yang ia menyangka/zhan) yakni sifatnya baru “zhan” tidak meyakini (atau ia telah mengetahui) baik ia sebagai ahli hadits atau diterangkan oleh ahli hadits (sesungguhnya hadits tersebut dusta/palsu), kemudian ia meriwayatkannya dengan tidak memberikan penjelasan akan kepalsuannya, (maka ia termasuk salah seorang dari pendusta/salah seorang dari dua pendusta) yakni yang membuat hadits palsu dan ia sendiri yang menyebarkannya.
Berkata Imam Ibnu Hibban dalam syarahnya atas hadits ini di kitabnya “Adl-Dlu’afaa” (1/7-8) : “Di dalam kabar (hadits) ini ada dalil tentang sahnya apa yang telah kami terangkan, bahwa orang yang menceritakan hadits apabila ia meriwayatkan apa-apa yang tidak sah dari Nabi SAW, apa saja yang diadakan orang atas (nama) beliau SAW, sedangkan ia mengetahuinya, niscaya ia termasuk salah seorang dari pendusta”.
Bahkan zhahirnya kabar (hadits) lebih keras lagi, yang demikian karena beliau telah bersabda: “Barangsiapa Yang Meriwayatkan Dariku Satu Hadits Padahal Ia Telah Menyangka (Zhan) Bahwa Hadits Tersebut Dusta”. Beliau tidak mengatakan bahwa ia telah yakin hadits itu dusta (yakni baru semata-mata zhan saja). Maka setiap orang yang ragu-ragu tentang apa-apa yang ia marfu’kan (sandarkan kepada Nabi SAW), shahih atau tidak shahih, masuk ke dalam pembicaraan zhahirnya kabar (hadits) ini”. (baca kembali keterangan Nawawi di Masalah ke 2).
Saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat) berpandangan : Hadits ini mengandung beberapa hukum dan faedah yang sangat penting diketahui :
1. Berdasarkan hadits shahih di atas dan hadist-hadits yang telah lalu dalam Masalah ke-2, maka Ulama-Ulama kita telah IJMA’ tentang haramnya -termasuk dosa besar- meriwayatkan hadits-hadits maudlu’ apabila ia mengetahuinya tanpa disertai dengan bayan/penjelasan tentang kepalsuannya. Ijma Ulama di atas menjadi hujjah atas kesesatan siapa saja yang menyalahinya. (Syarah Nukhbatul Fikr (hal : 84-85). Al-Qaulul Badi’ fish-shalati ‘Alal Habibisy Syafi’(hal : 259 di akhir kitab oleh Imam As-Sakhawi). Ikhtisar Ibnu Katsir dengan syarah Syaikh Ahmad Syakir (hal : 78 & 81) Qawaa’idut Tahdist (hal : 150 oleh Imam Al-Qaasimiy).
2. Demikian juga orang yang meriwayatkan hadits yang ia sangka (zhan) saja hadits itu palsu atau ia ragu-ragu tentang kepalsuannya atau shahih dan tidaknya, maka menurut zhahir hadits dan fiqih Imam Ibnu Hibban (dan Ulama-ulama lain) orang tersebut salah satu dari pendusta. Menurut Imam Ath-Thahawiy diantara syarahnya terhadap hadits di atas di kitabnya “Musykilul Atsar” (1/176) : Barangsiapa yang menceritakan (hadits) dari Rasulullah SAW dengan dasar ZHAN (sangkaan), berarti ia telah menceritakan (hadits) dari beliau dengan tanpa haq, dan orang yang menceritakan (hadits) dari beliau dengan cara yang batil, niscaya ia menjadi salah seorang pendusta yang masuk ke dalam sabda Nabi SAW :”Barangsiapa yang sengaja berdusta atas (nama)ku, hendaklah ia mengambil tempat tinggalnya di neraka”. (baca kembali hadits-hadit tersebut di Masalah ke 2).
3. Bahwa orang yang menceritakan kabar dusta, termasuk salah satu dari pendusta, meskipun bukan ia yang membuat kabar dusta tersebut (Nabi SAW telah menjadikan orang tersebut bersekutu dalam kebohongan karena ia meriwayatkan dan menyebarkannya).
4. Menunjukkan bahwa tidak ada hujjah kecuali dari hadits-hadits yang telah tsabit (shahih atau hasan) dari Rasulullah SAW.
5. Wajib menjelaskan hadits-hadist maudlu’/palsu dan membuka aurat (kelemahan) rawi-rawi pendusta dan dlo’if dalam membela dan membersihkan nama Rasulullah SAW. Tentu saja pekerjaan yang berat ini wajib dipikul oleh ulama-ulama ahli hadits sebagai Thaaifah Mansurah.
6. Demikian juga ada kewajiban bagi mereka (ahli hadits) mengadakan penelitian dan pemeriksaan riwayat-riwayat dan mendudukkan derajad-derajad hadits mana yang sah dan tidak.
7. Menunjukkan juga bahwa tidak boleh menceritakan hadits dari Rasulullah SAW kecuali orang yang tsiqah dan ahli dalam urusan hadits.
8. Menunjukkan juga bahwa meriwayatkan hadits atau menyandarkan sesuatu kepada Nabi SAW, bukanlah perkara yang “ringan”, tetapi sesuatu yang “sangat berat” sebagaimana telah dikatakan oleh seorang sahabat besar yaitu Zaid bin Arqam [Berkata Abdurrahman bin Abi Laila : Kami berkata kepada Zaid bin Arqam : ” Ceritakanlah kepada kami (hadits-hadits) dari Rasulullah SAW !. Beliau menjawab : Kami telah tua dan (banyak) lupa, sedangkan menceritakan hadits dari Rasulullah SAW sangatlah berat “. (shahih riwayat Ibnu Majah No. 25 dll)]. Oleh karena itu wajiblah bagi setiap muslim merasa takut kalau-kalau ia termasuk salah seorang pendusta atas nama Rasulullah SAW. Dan hendaklah mereka berhati-hati dalam urusan meriwayatkan hadits dan tidak membawakannya kecuali yang telah tsabit dari Rasulullah SAW menurut pemeriksaan ahli hadits.
9. Dalam hadits ini (dan hadits yang lain banyak sekali) ada dalil bahwa lafadz “hadits” dan maknanya telah ada ketetapan langsung dari Rasulullah SAW. Sabda beliau :”Barangsiapa yang menceritakan/meriwayatkan dariku satu HADITS….yakni : Segala sesuatu yang disandarkan kepadaku, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir dan lain-lain, maka inilah yang dinamakan hadits atau sunnah Nabi SAW”.
10. Menunjukan juga bahwa hadits apabila telah tsabit dari Rasulullah SAW, baik hadits mutawatir atau hadits-hadits ahad, menjadi hujjah dalam aqidah dan ahkam (hukum-hukum) dan lain-lain. Demikian aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan tidak ada yang membedakan dan menyalahi kecuali ahlul bid’ah yang dahulu dan sekarang. Adapun ahlul bid’ah yang dahulu mengatakan (menurut persangkaan mereka yang batil) : Tidak ada hujjah dalam aqidah dan ahkam kecuali dengan hadits-hadits mutawatir !?.
Demikian paham yang sesat dari sekelompok kecil Mu’tazilah dan Khawarij. Sedangkan ahlul bid’ah zaman sekarang mengatakan (menurut persangkaan mereka yang batil) : Untuk ahkam dengan hadits-hadits ahad, sedangkan untuk aqidah tidak diambil dan diyakini kecuali dari hadits-hadits mutawatir.Kalau ditaqdirkan pada zaman kita sekarang ini tidak ada lagi orang yang memalsukan hadits (walaupun kita tidak menutup kemungkinannya), tetapi tidak sedikit bahkan banyak sekali saudara-saudara kita yang membawakan hadits-hadits yang batil dan palsu. Tersebarlah hadits palsu itu melalui mimbar para khotib, majelis-majelis dan tulisan di kitab-kitab dan majalah-majalah yang tidak sedikit membawa kerusakan bagi kaum muslimin. Innaa lillahi wa inna ilaihi raaji’un !
Mudah-mudahan hadits di atas dan hadits-hadits di Masalah ke 2 dapat memberikan peringatan dan pelajaran bagi kita supaya berhati-hati dalam menyandarkan sesuatu kepada Rasulullah SAW. Aamiin ..!
E. Al – Qur’an Pada Masa Khalifah Umar bin Khatab
Pada masa khalifah Umar bin Khatab kegiatan penyiaran dan dakwah Islam demikian pesat sehingga daerah khalifah Islam sampai ke Mesir dan Persia Khalifah Umar bin Khattab mengarahkan pada kegiatan dakwah tersebut.
Kumpulan Al – Qur’an yang disimpan oleh Abu Bakar kemudian disimpan oleh Umar hanya disalin menjadi satu shuhuf. Hal ini dimaksudkan agar Al – Qur’an yang telah dikumpulkan itu terpelihara dalam bentuk tulisan yang original atau bersifat standarisasi. Pada masa itu masihbanyak para sahabat yang hafal Al – Qur’an yang dapat mengajarkannya kepada para sahabat yang lain.
Setelah Umar wafat shuhuf itu disimpan oleh Hafsah Bin Umar denangan pertimbanga bahwa Hafsah adalah istri Nabi Muhammad saw dan putri Umar yang pandai membaca dan menulis.
F. Al – Qur’an Pada Masa Khalifah Usman
Pada masa khalifah Usman bin Affanm timbul hal – hal yang menyadarkan khalifah akan perlunya memperbanyak naskah shuhuf dan mengirimkannya ke kota – kota besar dalam wilayah negara Islam, kesadaran ini timbul karena para huffazal Qur’an telah bertebaran ke kota – kota besar dan diantara mereka terdapat perbedaan bacaan terhadap beberapa huruf dari Al – Qur’an. Karena perbedaan dialek bahasa mereka.
Selanjutnya masing – masing menganggap mereka bacaannya yang lebih tepat dan baik.
Berita perselisihan itu sampai ketelinga Usman dan beliau menganggap hal itu sebagai sumber bahaya besar yang harus segera diatasi.
Beliau memintan kepada Hafsah binti Umar supaya mengirimkan mushaf Abu Bakar yang ada padanya.
Kemudian khalifah menugaskan : Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Ash dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalin (membukukan) menjadi beberapa shuhuf.
Setelah selesai penghimpunannya, mushaf asli dikembalikan ke Hafsah dan tujuh mushaf yang telah disalin, masing – masing dikirimkan ke kota – kota Kufah, Bashrah, Damaskus, Mekah, Madinah dan Mesir, khalifah meninggalkan sebuah dari tujuh mushaf itu untuk dirinya sendiri. Dalam penyalinan (pembukuan) Al – QUR’an itu dimana amat teliti dan tegas, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Jarir mengatakan berkenaan apa yang telah dilakukan Usman “Ia telah menyatukan umat Islam dalam satu mushaf dan satu shuhuf, sedangkan mushaf yang lain di sobek.
A. KESIMPULAN
Dari uraian yang telah penulis paparkan dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa apa yang telah dilakukan para sahabat yaitu dengan mengumpulkan AL – Qur’an adalah sesungguhnya suatu perbuatan yang sangat mulia karena dengan nama Allah mereka berusaha menjaga kelestarian dari ayat – ayat Al – Qur’an yang telah diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw secara mutawatir melalui perantara Malaikat Jibril adalah suatu kemukjizatan yang tak pernah terbandingi nilainya. Al – Qur’an merupakan pedoman dasar menuju jalan yang diridhoi oleh Allah SWT.
B. SARAN
Penulis menyarankan agar kita (khususnya penulis sendiri) hendaknya dapat mempelajari ilmu – ilmu Al – Qur’an karena sesungguhnya Al – Qur’an merupakan mukjizat terbesar bagi umat Islam yang dapat dijadikan pedoman hidup baik di dunia dan di akhirat. Al – Qur’an merupakan kitab dari Allah yang kaya akan ilmu dan tak akan pernah habis untuk dikaji, karena dengan mempelajari Al Qur’an kita akan mengetahui Maha Besarnya Allah bagi segala makhluk yang diciptakannya.
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Moderasikan Komentar Anda dengan Sopan dan Tidak Mengandung Spam, Mohon Maaf Apabila Komentar Anda Tidak Bisa dijawab Langsung Karena Saya Tidak Online 24 Jam.Terimaksih